Sragen - Andai bukan karena persoalan fungsi pendengarannya yang semakin melemah, ngobrol dengan Sodimejo atau yang akrab disapa Mbah Gotho, kita akan bisa mencatat berderet-deret pengalaman dan kearifan hidup. Mbah Gotho seorang anak manusia yang telah melampaui kehidupan melebihi rata-rata umur manusia lainnya.
Dia mengaku telah berusia 146 tahun. Namun di usianya yang renta itu ingatan masih jernih dan penuturannya masih lancar dan runtut.
Terlahir dengan nama kecil Saparman dan sesuai tradisi masyarakat Jawa saat itu, dia berganti nama setelah menikah. Nama tuanya adalah Sodimejo. Namun semua orang di kampung tempat tinggalnya di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Sambungmacan, Sragen, lebih mengenalnya sebagai Mbah Gotho.
Kata Gotho tidak dikenal sebagai kata baku dalam bahasa Jawa. Namun kata itu sering dipakai di kalangan pedesaan untuk menggambarkan seseorang yang selalu bersemangat dan cenderung menggunakan otot ketika berjalan atau bertindak.
"Sejak masih sangat kecil, saya sudah mendapati Mbah Gotho sebagai kakek tua yang seluruh rambutnya beruban namun tetap tegak berotot. Orangnya tinggi dengan perawakan gemuk. Kalau berjalan agak terbungkuk, tergopoh-gopoh namun langkahnya tegas, cepat dan bertenaga. Suaranya juga lantang. Mungkin karena itulah dia dipanggil sebagai Mbah Gotho, karena jalannya yang cepat dan kelihatan tergesa-gesa itu," ujar Sriyanto (54 tahun), Kepala Desa Cemeng, kepada detikcom, Selasa (30/8).
Tapi benarkah Mbah Gotho telah berusia 146 tahun? Sriyanto tak bisa memastikan. Meskipun Mbah Gotho juga lahir di desa tersebut, namun data kependudukan yang mencatat kelahiran Mbah Gotho sudah tak lagi bisa ditemukan. Dia hanya berpegangan pada dokumen berupa Kartu Keluarga dan KTP yang dimiliki oleh Mbah Gotho yang mencatat bahwa lelaki renta itu kelahiran 31 Desember 1870.
"Tapi saya sendiri yakin bahwa usia beliau sudah jauh melewati hitungan seabad. Salah seorang warga desa kami, almarhum Mbah Dipo, yang wafat sekitar 5 tahun lalu dalam usia 112 tahun, juga menguatkan hal itu. Semasa hidupnya Mbah Dipo pernah mengatakan tidak seumuran dengan Mbah Gotho. Ketika Mbah Dipo masih sangat kanak-kanak, saat itu Mbah Gotho sudah seorang pemuda dewasa yang telah menikah," lanjut Sriyanto.
Untuk mencari informasi langsung dari Mbah Gotho saat ini memang perlu 'perjuangan' tersendiri. Harus menunggu saat yang tepat ketika dia sedang sepenuhnya konsentrasi, lalu harus bertanya cukup keras di dekat telinganya dengan sedikit dieja. Jika Mbah Gotho masih belum nyambung harus diulangi, namun jika sudah mendengarkan pertanyaan, dia akan segera menjawab dengan sangat gamblang, runtut dan jelas.
"Saya lahir di hari Kamis Wage, Bulan Sapar. Karena itu saya diberi nama Saparman. Tahun lahir saya tidak ingat pasti. Yang saya ingat ketika peresmian Pabrik Gula Gondang, saat itu saya sudah ikut datang menonton. Saat itu saya mendengar cerita bahwa Belanda kurang berkenan dengan posisi pabrik yang baru dibangun itu. Saat itu saya sudah besar dan bisa membantu bapak membajak di sawah. Anak desa sudah diajari membajak sawah itu ketika sudah umur 10 tahun ke atas," tuturnya lancar.
Sejarah mencatat Pabrik Gula Gondang Sragen dibangun pada tahun 1880. Operasional pabrik gula ini tidak lama karena lokasi bangunan pabrik yang tidak sesuai dengan rencana awal pembangunannya. Masyarakat sekitar memang biasa menyebut pabrik gula itu dengan nama Pabrik Sida Wurung atau pabrik yang gagal.
(mbr/dra)
Sumber : [news.detik.com]
Dia mengaku telah berusia 146 tahun. Namun di usianya yang renta itu ingatan masih jernih dan penuturannya masih lancar dan runtut.
Terlahir dengan nama kecil Saparman dan sesuai tradisi masyarakat Jawa saat itu, dia berganti nama setelah menikah. Nama tuanya adalah Sodimejo. Namun semua orang di kampung tempat tinggalnya di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Sambungmacan, Sragen, lebih mengenalnya sebagai Mbah Gotho.
Kata Gotho tidak dikenal sebagai kata baku dalam bahasa Jawa. Namun kata itu sering dipakai di kalangan pedesaan untuk menggambarkan seseorang yang selalu bersemangat dan cenderung menggunakan otot ketika berjalan atau bertindak.
"Sejak masih sangat kecil, saya sudah mendapati Mbah Gotho sebagai kakek tua yang seluruh rambutnya beruban namun tetap tegak berotot. Orangnya tinggi dengan perawakan gemuk. Kalau berjalan agak terbungkuk, tergopoh-gopoh namun langkahnya tegas, cepat dan bertenaga. Suaranya juga lantang. Mungkin karena itulah dia dipanggil sebagai Mbah Gotho, karena jalannya yang cepat dan kelihatan tergesa-gesa itu," ujar Sriyanto (54 tahun), Kepala Desa Cemeng, kepada detikcom, Selasa (30/8).
Mbah Gotho dan cucunya yang merawatnya
|
Tapi benarkah Mbah Gotho telah berusia 146 tahun? Sriyanto tak bisa memastikan. Meskipun Mbah Gotho juga lahir di desa tersebut, namun data kependudukan yang mencatat kelahiran Mbah Gotho sudah tak lagi bisa ditemukan. Dia hanya berpegangan pada dokumen berupa Kartu Keluarga dan KTP yang dimiliki oleh Mbah Gotho yang mencatat bahwa lelaki renta itu kelahiran 31 Desember 1870.
"Tapi saya sendiri yakin bahwa usia beliau sudah jauh melewati hitungan seabad. Salah seorang warga desa kami, almarhum Mbah Dipo, yang wafat sekitar 5 tahun lalu dalam usia 112 tahun, juga menguatkan hal itu. Semasa hidupnya Mbah Dipo pernah mengatakan tidak seumuran dengan Mbah Gotho. Ketika Mbah Dipo masih sangat kanak-kanak, saat itu Mbah Gotho sudah seorang pemuda dewasa yang telah menikah," lanjut Sriyanto.
Untuk mencari informasi langsung dari Mbah Gotho saat ini memang perlu 'perjuangan' tersendiri. Harus menunggu saat yang tepat ketika dia sedang sepenuhnya konsentrasi, lalu harus bertanya cukup keras di dekat telinganya dengan sedikit dieja. Jika Mbah Gotho masih belum nyambung harus diulangi, namun jika sudah mendengarkan pertanyaan, dia akan segera menjawab dengan sangat gamblang, runtut dan jelas.
"Saya lahir di hari Kamis Wage, Bulan Sapar. Karena itu saya diberi nama Saparman. Tahun lahir saya tidak ingat pasti. Yang saya ingat ketika peresmian Pabrik Gula Gondang, saat itu saya sudah ikut datang menonton. Saat itu saya mendengar cerita bahwa Belanda kurang berkenan dengan posisi pabrik yang baru dibangun itu. Saat itu saya sudah besar dan bisa membantu bapak membajak di sawah. Anak desa sudah diajari membajak sawah itu ketika sudah umur 10 tahun ke atas," tuturnya lancar.
Sejarah mencatat Pabrik Gula Gondang Sragen dibangun pada tahun 1880. Operasional pabrik gula ini tidak lama karena lokasi bangunan pabrik yang tidak sesuai dengan rencana awal pembangunannya. Masyarakat sekitar memang biasa menyebut pabrik gula itu dengan nama Pabrik Sida Wurung atau pabrik yang gagal.
(mbr/dra)
Sumber : [news.detik.com]
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan juga relevan dengan tema artikel yang ditulis. Tidak diperkenankan untuk spaming. Terimakasih.